Mayjen TNI Saurip Kadi
(Penulis buku Mengutamakan Rakyat)
JAUH sebelum Indonesia berdiri, penduduk Nusantara sudah majemuk. Orang Tengger, Baduy, Dayak, Irian, dan banyak lagi penduduk pedalaman lainnya sudah mengenal Tuhan tanpa agama. Keturunan Tionghoa sudah ke kelenteng. Yang terjadi setelah ada republik, terlebih pada masa Orde Baru, kebhinekaan yang ada justru menjadi sumber malapetaka.
Juga, tidak sedikit anak bangsa ini yang menjadi korban akibat kemajemukan, bahkan oleh penampilan negara itu sendiri. Setidaknya, mereka tidak bisa membuat KTP. Orang Dayak yang bertato tidak bisa masuk TNI, padahal tato bagi Suku Dayak adalah lambang kejantanan. Begitu pula, etnis Tionghoa tidak bisa beribadah di kelenteng (baru sejak pemerintahan Gus Dur etnis Tionghoa bisa ritual kembali di kelenteng).
Karena itu, ke depan, yang terpenting adalah kejelasan konsep bagaimana kebhinekaan ini dikelola. Apakah kita akan meneruskan gaya Orde Baru, di mana yang bhineka itu diudek jadi satu, atau yang bermacam-macam ini cukup dibingkai, dan bingkai itu bernama Indonesia.
Agar bingkai tersebut kuat, hanya ada satu syarat, yaitu ketika negara menjamin kesetaraan terhadap setiap individu, kelompok, daerah, golongan, etnis, budaya, dan juga agama. Ke depan tidak boleh lagi model lama diteruskan. Dulu karena alasan SARA orang diciduk dan belakangan ini negara membiarkan, bahkan terlibat dalam penzaliman sesama warga negara atas nama aliran sesat.
Manfaat Negara
Nasionalisme ke depan tidak mungkin lagi didasarkan hanya pada ikatan imajiner karena sama-sama dijajah Belanda dan Jepang. Bangsa ini juga harus berani menghentikan model lama dalam pengelolaan negara yang justru merusak rasa nasionalisme tersebut.
Karena itu, atas nama nasionalisme, pemegang lisensi proyek-proyek infrastruktur haruslah orang Indonesia. Dalam kenyataannya, cara itu tidak membawa manfaat bagi rakyat sama sekali. Keberadaan pemegang saham orang dalam negeri yang hanya bermodal lisensi tersebut justru membuat waktu ROI (return of invesment) menjadi bertambah panjang.
Artinya, untuk mengembalikan dana investasi, rakyat dibebani tambahan beberapa tahun. Hanya bermodal ''lisensi'' dan sedikit dana eksplorasi, pemegang saham sektor pertambangan bisa mengeruk uang dalam jumlah sangat besar dari money market. Sementara pemda setempat, sekadar untuk membangun rumah sakit di sekitar wilayah pertambangan tersebut, harus mencari pinjaman atau investor.
Ke depan, kita juga tidak boleh terkecoh oleh kelompok tertentu yang mengatasnamakan nasionalisme gigih memperjuangkan upaya menasionalisasi tambang-tambang yang kini dikuasai asing. Jangan sampai kelak hanya memindahkan kepemilikan saham dari ''Londo'' kulit putih beralih ke ''Londo'' kulit hitam. Sebab, dalam era kekinian, yang terpenting adalah model pengelolaan tambang agar secara langsung bermanfaat bagi rakyat banyak.
Maka, nasionalisme ke depan haruslah didasarkan pada manfaat negara. Sepanjang negara membawa manfaat bagi segenap rakyat tanpa kecuali, niscaya negaranya akan dibelanya. Apalagi kalau republik ini bisa berpenampilan sebagaimana negara-negara sahabat, jangankan fakir-miskin, pengangguran saja dijamin oleh negara, pendidikan gratis, kesehatan ditanggung negara, dan dihargai oleh bangsa-bangsa lain.
Masih Kurang Cukup?
Dalam kaitan nasionalisme, bukankah kita sudah punya Pancasila? Apakah dengan Pancasila masih kurang cukup? Kita memang punya Pancasila, tapi sesungguhnya Pancasila sebagai ideologi belumlah tuntas. Karena ia tidak atau belum punya instrumen untuk menjalankan nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila.
Pernyataan ini sama sekali bukan mengecilkan makna Pancasila. Sebab, oleh perumusnya (Bung Karno) dalam pidato kelahiran Panca Sila tanggal 1 Juni 1945, Pancasila disebutnya sebagai ''Weltanchaung'' atau landasan filsafat. Itu juga bisa dimaklumi karena semua ideologi seperti Islam, liberalisme, dan komunisme di dalamnya sudah mengatur bagaimana nilai-nilai yang dikandung diimplementasikannya.
Sesungguhnya dengan Pancasila yang belum mempunyai instrumen justru sebuah keuntungan, sehingga pada tataran nilai terapan setiap saat bisa diubah sesuai tuntutan zaman pada masing-masing era.
Maka, garapan utama dalam waktu dekat ini adalah bagaimana sila-sila Pancasila dan semua nilai yang mengantar republik ini berdiri harus diterjemahkan dalam pasal undang-undang dasar. Dengan demikian, pemerintahan hasil pemilu yang mana pun (dengan ideologi apa pun) tidak bisa lepas dari nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur peninggalan pendahulu kita.
Karena itu, persoalan yang paling mendesak adalah bagaimana mewujudkan model baru nasionalisme itu.
Bagi bangsa kita, yang terpenting adalah ke depan -melalui Pemilu 2009- bisa melahirkan pemimpin yang cerdas, yang mampu membumikan nilai-nilai luhur warisan pendahulu kita sesuai tuntutan zaman kekinian. Untuk itu, ia harus bisa mengubah sistem kenegaraan yang ada dengan model (platform) baru di semua aspek kehidupan.
Lebih dari itu, sang pemimpin ke depan dituntut melahirkan nilai-nilai baru, termasuk dalam melestarikan negaranya
0 komentar:
Posting Komentar