Lanjutan Bag-4 (Cerita Dari Mantan GAM Tentang TNI )
Di akhir ceritanya, Handoko mengungkapkan kekesalannya melihat Nasir dipukuli begitu. Menurutnya, mereka yang bertindak kasar itu tak tahu persoalan dan hanya cari-cari muka.
Seorang kapten yang ada di ruang interogasi juga memilih keluar. Dia jengah melihat beberapa bawahannya memukuli Nasir. Dia tak kuasa mencegah kendati itu terjadi di hadapannya. Saya kira dia sungkan karena bagaimana bisa melarang jika mayor di hadapannya justru menyetujui pemukulan itu?
Saat ngobrol dengan Handoko, seorang bintara mendekat dan mengaku tak tega melihat Nasir dijotosi sampai elek. Saya senang mendengarnya. Tapi sehari setelahnya, dalam bahasa Jawa, dia bercerita kepada beberapa rekannya, di hadapan saya, kalau tangannya sampai sakit memukuli Nasir. Saya kecewa sekali merasa dibohongi. Saya mengerti bahasa Jawa walau sedikit.
Interogasi berjalan sekitar dua jam. Untuk pemeriksaan selanjutnya, Nasir dan istrinya ditahan di Pos Komando Taktis Pula Ie, sekitar setengah jam perjalanan dari Meulaboh.
Di atas truk itu, Nasir yang saya lihat dua jam lalu jauh berbeda dengan Nasir sekarang: ada gumpalan darah beku di tulang belakang telinganya. Bibirnya lebam, hidungnya berdarah, dahinya penuh benjolan. Rahang kanannya membengkak sementara yang sebelah kiri seperti kempes.
Pasangan suami istri itu duduk di ban serep truk. Sekitar 20 orang serdadu bersenjata lengkap mengawalnya. Begitu duduk, istri Nasir mencoba menggamit lengan kiri suaminya. Tapi Nasir seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tatapannya tetap lurus ke depan.
Siang itu dia mengenakan jins yang birunya sudah memudar dan baju kaos lengan panjang warna kuning yang kerahnya seperti habis ditarik paksa. Lengan kanan dan bagian punggung baju itu penuh bercak-bercak darah.
Saya pernah mendengar seorang serdadu dari Makassar berandai-andai ada promotor yang mau memfasilitasi pertarungan gaya bebas ala Ultimate Fighting Championship (UFC) antara TNI dan GAM. Dan saya kira, kalau disuruh berkelahi satu lawan satu, akan banyak serdadu Indonesia yang berpikir 1.000 kali sebelum memberanikan diri menantang Nasir.
Tingginya dapat 175 centimeter. Dadanya membusung. Bahunya lebar. Pergelangan tangannya besar. Kumisnya yang bapang kian menambah kesan angker.
Tapi siang itu, Nasir dalam kondisi payah. Sungguh.
Saya duduk di sampingnya saat mendengar beberapa serdadu berkata: "Wis pateni ae (sudah bunuh saja)." Ada juga yang menginginkan Nasir diberi kesempatan menunjukkan tempat penyembunyian senjatanya. Nanti kalau ternyata tidak ada, ya "wis pateni ae." Istrinya? Ada yang mengusulkan tak usah dibunuh tapi dijadikan tukang masak di pos saja.
Truk bergerak. Istri Nasir mempererat dekapannya. Sekali dia mencoba membelai paha suaminya, tapi tak dilanjutkannya. Mungkin segan. Dia hanya memegang lipatan-lipatan kain yang membungkus lutut suaminya. Lain kali dia seperti hendak membisikkan sesuatu ke telinga Nasir. Nasir berpaling, tak berkata suatu apa, lalu kembali menatap lurus.
Saya kagum. Mungkin seperti beginilah harusnya laki-laki. Saya tak dapat membayangkan seperti apa keadaan istrinya jika Nasir tak setegar siang itu.
Sebentar kemudian, Nasir mengelus-ngelus telunjuk kirinya. Dia mencoba menyapu darah yang masih menetes. Luka bekas tertusuk duri itu kembali merekah setelah seorang serdadu memukuli telunjuk Nasir dengan besi. Nasir mengakui keterlibatannya dengan GAM setelah itu.
Nasir dan istrinya diterungku di sebuah sel besi seukuran 3 x 5 meter. Ada selembar tikar di situ dan dua sak semen yang mungkin bisa dijadikan bantal. Tahi kambing berceceran di lantai itu. Penjaranya di samping dapur umum. Beberapa serdadu berkali memukul-mukul seng samping penjara seakan-akan untuk menyambut kehadiran penghuni baru di sebelah.
Sekitar 50 meter dari tempat Nasir mendekam, di sebuah bangunan yang ditinggali para serdadu itu, saya melihat ada kursi listrik yang berubah fungsi menjadi kandang burung. Model dan ukurannya seperti bangku kuliah mahasiswa. Hanya saja beberapa bagiannya, seperti sandaran punggung, dilapisi lempengan besi. Di tungkai kursi itu ada lengkungan besi berengsel yang pas di tungkai kaki.
Beberapa serdadu bercerita kalau kursi itu peninggalan Yonif Linud 700 Makassar. Saya banyak mendengar cerita miring tentang pasukan ini. Mereka menggunakan kursi listrik itu untuk melakukan interogasi. Banyak warga yang trauma dengan watak keras pasukan ini. "Matanya ditatap saja kita sudah digertak .... ada salah sedikit main tempeleng," kata seorang warga.
Dua-tiga hari setelahnya, saya kembali bertemu Nasir dan istrinya. Kondisinya sudah lebih baik. Lebam-lebam di mukanya hilang. Seorang serdadu malah memberinya baju ganti. Wajahnya kelihatan lebih segar, demikian pula istrinya.
Entah kenapa, hari itu dia menghampiri saya di sudut pos. "Saya Cut Ali. Cut Ali bin Nasir." Katanya menjabat tangan saya erat-erat, seolah tak akan pernah bertemu lagi. Tapi dari keadaannya yang sudah membaik itu saya menduga sebentar lagi mereka akan dilepas, seperti Ismail dulu.
Memang, selama dua minggu setelahnya saya tak pernah mendengar kabar Nasir lagi. Pada pekan keempat Oktober, seorang bintara mengabarkan kalau Nasir dan istrinya melarikan diri.
"Melarikan diri?" tanya saya tak percaya.
"Iya," katanya, "Waktu rumahnya digerebek ulang ada amunisi yang ditimbun ternyata."
Tak selalu tentara kita mengorek informasi dari orang yang dinilai terlibat GAM dengan cara kekerasan, seperti yang telah dialami Nasir dan istrinya itu. Saya pernah melihat cara yang simpatik. Waktu itu ada informasi yang masuk ke pos kalau pemimpin pondok pesantren Babussalam Abubakar Sabir menampung sejumlah orang GAM.
Dua truk pasukan langsung meluncur ke dayah (pesantren) di jantung kota Meulaboh. Seorang mayor turun dan bertemu dengan kiai di situ. Entah apa yang mereka bicarakan. Keesokan harinya, kiai itu datang membawa belasan santrinya yang pernah ikut GAM. Mereka hanya diinterogasi dan diizinkan pulang dengan status wajib lapor sekali seminggu. (Ada juga "laron" yang baru dilepas setelah kakak, adik, om, tante, dan sepupunya datang menjaminkan kepalanya)
Selama bergabung dengan pasukan, saya banyak melihat GAM yang turun gunung menyerahkan diri ke pos aparat. Jumlahnya mencapai 50 orang lebih. Mulai dari yang levelnya panglima sago (setingkat kemukiman) hingga yang dianggap GAM hanya karena pernah dipaksa ikut latihan perang-perangan selama tiga jam. Sebagian besar diperlakukan baik-baik. Hanya diinterogasi dan diberi pengarahan singkat.
Tapi biasanya, kalau tentara Jakarta punya informasi yang bisa diandalkan, "laron" tertentu akan dibujuk dan kalau tak mempan dipaksa menunjukkan tempat penyembunyian senjatanya. Seorang prajurit dua pernah bercerita kalau di posnya ada pecut ekor ikan pari. Cambuk itu berhasil memaksa seorang "laron" yang telah menyerahkan diri menunjukkan tempat penyimpanan senjatanya.
Di akhir ceritanya, Handoko mengungkapkan kekesalannya melihat Nasir dipukuli begitu. Menurutnya, mereka yang bertindak kasar itu tak tahu persoalan dan hanya cari-cari muka.
Seorang kapten yang ada di ruang interogasi juga memilih keluar. Dia jengah melihat beberapa bawahannya memukuli Nasir. Dia tak kuasa mencegah kendati itu terjadi di hadapannya. Saya kira dia sungkan karena bagaimana bisa melarang jika mayor di hadapannya justru menyetujui pemukulan itu?
Saat ngobrol dengan Handoko, seorang bintara mendekat dan mengaku tak tega melihat Nasir dijotosi sampai elek. Saya senang mendengarnya. Tapi sehari setelahnya, dalam bahasa Jawa, dia bercerita kepada beberapa rekannya, di hadapan saya, kalau tangannya sampai sakit memukuli Nasir. Saya kecewa sekali merasa dibohongi. Saya mengerti bahasa Jawa walau sedikit.
Interogasi berjalan sekitar dua jam. Untuk pemeriksaan selanjutnya, Nasir dan istrinya ditahan di Pos Komando Taktis Pula Ie, sekitar setengah jam perjalanan dari Meulaboh.
Di atas truk itu, Nasir yang saya lihat dua jam lalu jauh berbeda dengan Nasir sekarang: ada gumpalan darah beku di tulang belakang telinganya. Bibirnya lebam, hidungnya berdarah, dahinya penuh benjolan. Rahang kanannya membengkak sementara yang sebelah kiri seperti kempes.
Pasangan suami istri itu duduk di ban serep truk. Sekitar 20 orang serdadu bersenjata lengkap mengawalnya. Begitu duduk, istri Nasir mencoba menggamit lengan kiri suaminya. Tapi Nasir seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tatapannya tetap lurus ke depan.
Siang itu dia mengenakan jins yang birunya sudah memudar dan baju kaos lengan panjang warna kuning yang kerahnya seperti habis ditarik paksa. Lengan kanan dan bagian punggung baju itu penuh bercak-bercak darah.
Saya pernah mendengar seorang serdadu dari Makassar berandai-andai ada promotor yang mau memfasilitasi pertarungan gaya bebas ala Ultimate Fighting Championship (UFC) antara TNI dan GAM. Dan saya kira, kalau disuruh berkelahi satu lawan satu, akan banyak serdadu Indonesia yang berpikir 1.000 kali sebelum memberanikan diri menantang Nasir.
Tingginya dapat 175 centimeter. Dadanya membusung. Bahunya lebar. Pergelangan tangannya besar. Kumisnya yang bapang kian menambah kesan angker.
Tapi siang itu, Nasir dalam kondisi payah. Sungguh.
Saya duduk di sampingnya saat mendengar beberapa serdadu berkata: "Wis pateni ae (sudah bunuh saja)." Ada juga yang menginginkan Nasir diberi kesempatan menunjukkan tempat penyembunyian senjatanya. Nanti kalau ternyata tidak ada, ya "wis pateni ae." Istrinya? Ada yang mengusulkan tak usah dibunuh tapi dijadikan tukang masak di pos saja.
Truk bergerak. Istri Nasir mempererat dekapannya. Sekali dia mencoba membelai paha suaminya, tapi tak dilanjutkannya. Mungkin segan. Dia hanya memegang lipatan-lipatan kain yang membungkus lutut suaminya. Lain kali dia seperti hendak membisikkan sesuatu ke telinga Nasir. Nasir berpaling, tak berkata suatu apa, lalu kembali menatap lurus.
Saya kagum. Mungkin seperti beginilah harusnya laki-laki. Saya tak dapat membayangkan seperti apa keadaan istrinya jika Nasir tak setegar siang itu.
Sebentar kemudian, Nasir mengelus-ngelus telunjuk kirinya. Dia mencoba menyapu darah yang masih menetes. Luka bekas tertusuk duri itu kembali merekah setelah seorang serdadu memukuli telunjuk Nasir dengan besi. Nasir mengakui keterlibatannya dengan GAM setelah itu.
Nasir dan istrinya diterungku di sebuah sel besi seukuran 3 x 5 meter. Ada selembar tikar di situ dan dua sak semen yang mungkin bisa dijadikan bantal. Tahi kambing berceceran di lantai itu. Penjaranya di samping dapur umum. Beberapa serdadu berkali memukul-mukul seng samping penjara seakan-akan untuk menyambut kehadiran penghuni baru di sebelah.
Sekitar 50 meter dari tempat Nasir mendekam, di sebuah bangunan yang ditinggali para serdadu itu, saya melihat ada kursi listrik yang berubah fungsi menjadi kandang burung. Model dan ukurannya seperti bangku kuliah mahasiswa. Hanya saja beberapa bagiannya, seperti sandaran punggung, dilapisi lempengan besi. Di tungkai kursi itu ada lengkungan besi berengsel yang pas di tungkai kaki.
Beberapa serdadu bercerita kalau kursi itu peninggalan Yonif Linud 700 Makassar. Saya banyak mendengar cerita miring tentang pasukan ini. Mereka menggunakan kursi listrik itu untuk melakukan interogasi. Banyak warga yang trauma dengan watak keras pasukan ini. "Matanya ditatap saja kita sudah digertak .... ada salah sedikit main tempeleng," kata seorang warga.
Dua-tiga hari setelahnya, saya kembali bertemu Nasir dan istrinya. Kondisinya sudah lebih baik. Lebam-lebam di mukanya hilang. Seorang serdadu malah memberinya baju ganti. Wajahnya kelihatan lebih segar, demikian pula istrinya.
Entah kenapa, hari itu dia menghampiri saya di sudut pos. "Saya Cut Ali. Cut Ali bin Nasir." Katanya menjabat tangan saya erat-erat, seolah tak akan pernah bertemu lagi. Tapi dari keadaannya yang sudah membaik itu saya menduga sebentar lagi mereka akan dilepas, seperti Ismail dulu.
Memang, selama dua minggu setelahnya saya tak pernah mendengar kabar Nasir lagi. Pada pekan keempat Oktober, seorang bintara mengabarkan kalau Nasir dan istrinya melarikan diri.
"Melarikan diri?" tanya saya tak percaya.
"Iya," katanya, "Waktu rumahnya digerebek ulang ada amunisi yang ditimbun ternyata."
Tak selalu tentara kita mengorek informasi dari orang yang dinilai terlibat GAM dengan cara kekerasan, seperti yang telah dialami Nasir dan istrinya itu. Saya pernah melihat cara yang simpatik. Waktu itu ada informasi yang masuk ke pos kalau pemimpin pondok pesantren Babussalam Abubakar Sabir menampung sejumlah orang GAM.
Dua truk pasukan langsung meluncur ke dayah (pesantren) di jantung kota Meulaboh. Seorang mayor turun dan bertemu dengan kiai di situ. Entah apa yang mereka bicarakan. Keesokan harinya, kiai itu datang membawa belasan santrinya yang pernah ikut GAM. Mereka hanya diinterogasi dan diizinkan pulang dengan status wajib lapor sekali seminggu. (Ada juga "laron" yang baru dilepas setelah kakak, adik, om, tante, dan sepupunya datang menjaminkan kepalanya)
Selama bergabung dengan pasukan, saya banyak melihat GAM yang turun gunung menyerahkan diri ke pos aparat. Jumlahnya mencapai 50 orang lebih. Mulai dari yang levelnya panglima sago (setingkat kemukiman) hingga yang dianggap GAM hanya karena pernah dipaksa ikut latihan perang-perangan selama tiga jam. Sebagian besar diperlakukan baik-baik. Hanya diinterogasi dan diberi pengarahan singkat.
Tapi biasanya, kalau tentara Jakarta punya informasi yang bisa diandalkan, "laron" tertentu akan dibujuk dan kalau tak mempan dipaksa menunjukkan tempat penyembunyian senjatanya. Seorang prajurit dua pernah bercerita kalau di posnya ada pecut ekor ikan pari. Cambuk itu berhasil memaksa seorang "laron" yang telah menyerahkan diri menunjukkan tempat penyimpanan senjatanya.
0 komentar:
Posting Komentar